Belajar
Ini minggu keempat saya kuliah di Melbourne.
Setelah beradaptasi dengan lingkungan, kemudian makanan, saya harus menyesuaikan lagi diri dengan gaya belajar di sini—yang sebenarnya, jujur, sama saja. Seperti di Indonesia, di sini para mahasiswa disuruh membaca, menulis, berdiskusi, dan serangkaian kegiatan akademik serta nonakademik lain. Tak ada bedanya, bukan?
Tekanan justru bagi saya besar karena saya kuliah dengan uang rakyat. Ada perasaan bersalah yang besar kalau pulang nanti masih bodoh. Membayangkannya saja saya sudah malu level iblis. Mohon kalau teman-teman sedang berdoa, selipkan nama saya di sana.
Depan
Kadang-kadang saya larut dalam perasaan yang tidak perlu seperti terlalu khawatir dengan masa depan. Saya sebenarnya sudah berlatih untuk tidak memikirkan hal-hal yang berada di luar kontrol seperti itu, namun di jam-jam kritis (seperti ketika hujan turun), pikiran ini datang dan menyiksa. Padahal saya tahu, yang saya takutkan itu, kuncinya sedang saya jalani sekarang. Tapi mau bilang apa, kegalauan terkadang menjelma menjadi teman lama yang mengetuk pintu tiba-tiba.
Kalau sudah begitu saya inginnya sendiri saja. Tidak bisa dalam ramai karena saya takkan bisa menikmati suasana dan bahkan berpotensi menghancurkannya.
Rindu Kata
Salah satu pelampiasan saya adalah sastra. Membaca ulang cerpen-cerpen yang saya suka. Mengunjungi blog atau media sosial pribadi penulisnya. Entahlah, begitu saja sudah senang.
Sekalipun saya bukan (atau dengan hampir putus asa sebut saja “belum”) penulis, saya kangen juga bicara-bicara tentang penulisan dan buku. Memang biasanya bicaranya masuk kategori sampah (apalagi kalau saya yang jadi moderator). Atau paling beruntung kalau sedang ngumpul dengan teman-teman penulis, saya bisa duduk manis saja mendengarkan.
Bicara tentang ini, jadi rindu ngopi di kampung.
Syukur
Syukur itu ilmu level dewa. Menguasainya susah sekali.
Di sini, saya kadang-kadang dengki melihat teman yang bisa makan gorengan, ngopi, kenduri maulid. Bahkan saya pernah membayangkan alangkah indahnya kalau saya kuliah di dekat rumah (agar bisa sesekali menjenguk keluarga, tetap bercengkarama dengan teman-teman)—sebuah hal yang setengah mati berusaha saya hindari ketika itu.
Maka seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu syukur harus dipelajari tanpa henti. Memeluk yang ada, bukan merindukan yang tidak kita miliki []
Ini minggu keempat saya kuliah di Melbourne.
Setelah beradaptasi dengan lingkungan, kemudian makanan, saya harus menyesuaikan lagi diri dengan gaya belajar di sini—yang sebenarnya, jujur, sama saja. Seperti di Indonesia, di sini para mahasiswa disuruh membaca, menulis, berdiskusi, dan serangkaian kegiatan akademik serta nonakademik lain. Tak ada bedanya, bukan?
Tekanan justru bagi saya besar karena saya kuliah dengan uang rakyat. Ada perasaan bersalah yang besar kalau pulang nanti masih bodoh. Membayangkannya saja saya sudah malu level iblis. Mohon kalau teman-teman sedang berdoa, selipkan nama saya di sana.
Depan
Kadang-kadang saya larut dalam perasaan yang tidak perlu seperti terlalu khawatir dengan masa depan. Saya sebenarnya sudah berlatih untuk tidak memikirkan hal-hal yang berada di luar kontrol seperti itu, namun di jam-jam kritis (seperti ketika hujan turun), pikiran ini datang dan menyiksa. Padahal saya tahu, yang saya takutkan itu, kuncinya sedang saya jalani sekarang. Tapi mau bilang apa, kegalauan terkadang menjelma menjadi teman lama yang mengetuk pintu tiba-tiba.
Kalau sudah begitu saya inginnya sendiri saja. Tidak bisa dalam ramai karena saya takkan bisa menikmati suasana dan bahkan berpotensi menghancurkannya.
Rindu Kata
Salah satu pelampiasan saya adalah sastra. Membaca ulang cerpen-cerpen yang saya suka. Mengunjungi blog atau media sosial pribadi penulisnya. Entahlah, begitu saja sudah senang.
Sekalipun saya bukan (atau dengan hampir putus asa sebut saja “belum”) penulis, saya kangen juga bicara-bicara tentang penulisan dan buku. Memang biasanya bicaranya masuk kategori sampah (apalagi kalau saya yang jadi moderator). Atau paling beruntung kalau sedang ngumpul dengan teman-teman penulis, saya bisa duduk manis saja mendengarkan.
Bicara tentang ini, jadi rindu ngopi di kampung.
Syukur
Syukur itu ilmu level dewa. Menguasainya susah sekali.
Di sini, saya kadang-kadang dengki melihat teman yang bisa makan gorengan, ngopi, kenduri maulid. Bahkan saya pernah membayangkan alangkah indahnya kalau saya kuliah di dekat rumah (agar bisa sesekali menjenguk keluarga, tetap bercengkarama dengan teman-teman)—sebuah hal yang setengah mati berusaha saya hindari ketika itu.
Maka seperti ilmu-ilmu lainnya, ilmu syukur harus dipelajari tanpa henti. Memeluk yang ada, bukan merindukan yang tidak kita miliki []