Kata seorang teman, akhir
Juli ini adalah puncak dari musim dingin. Melbourne sehari-hari hanya terdiri
dari hujan dan angin. Jika ada sedikit saja matahari di pagi hari, orang-orang
akan tersenyum dan bergegas mencuci baju. Tidak semua orang suka atau punya
banyak uang mencuci di laundri koin yang selalu populer ketika musim dingin. Sebagian
orang juga, walaupun mempunyai mesin cuci termutakhir yang memiliki sistem
pengeringan bagus, biasanya lebih takut rekening listrik membengkak daripada
jemuran yang berhari-hari lembab.
Semester satu telah
berakhir dengan baik. Alhamdulillah. Saya mendapatkan D (Distinction) dengan
nilai rata-rata tipis saja di atas standar minimal untuk mengambil mata kuliah
penelitian (minor thesis). Walau demikian,
dalam banyak hal saya belum puas. Saya belum kunjung ‘memecahkan telur’
keabsenan saya dari dunia tulis-menulis. Maksud saya, bukan tulisan tidak jelas
yang rutin menyampah di blog, tetapi tulisan berbobot yang nilai gunanya lebih
besar dari sekadar curahan hati pribadi. Saya pikir, yang bisa saya lakukan
saat ini adalah mengatakan sesuatu, menginformasikan apa yang saya tahu dan
dapatkan dari bangku kuliah. Paling sederhana dalam bentuk esai atau opini—yang
juga belum kunjung saya lakukan. Ada titik-titik ketika saya merasa begitu tak
berguna sebagai anak bangsa yang pendidikannya dibiayai oleh negara.
Masalah terbesar ada di
diri saya sendiri dan seingat saya hal ini sudah saya ketahui jauh-jauh hari. Jika
ada hal yang sulit saya pelajari, perbaikan diri adalah salah satunya. Sebagai pribadi
yang kerap kali digerakkan oleh ketergesa-gesaan dan deadline, saya justru gagal menghadapi realitas kehidupan yang
tidak memiliki tenggat waktu. Dalam hal ini, saya merasa diri belum dewasa
sebagai manusia. Saya juga merasa hampir putus asa dan kerap bertanya: apakah
saya akan selalu kalah dalam pertarungan dengan diri sendiri?
Saya merasakan ada lubang
kosong di keseharian yang hanya diisi oleh belajar tanpa bentuk konkret dari
hasil belajar itu sendiri. Barangkali seperti seseorang yang sibuk menghafal
resep masakan tapi tak pernah berani memasak. Pengetahuan seperti ini hanya
akan menyenangkan pelakunya di dalam pikiran. Dia sendiri bahkan takkan begitu
mendapatkan manfaatnya. Semu sekali.
Mengapa saya tidak
kunjung menulis? Saya mungkin takut. Takut jika tulisan saya menyinggung orang
lain, takut jika hasilnya jelek, takut jika orang salah paham. Rasanya ini naif
dan negatif sekali. Saya malu menyadari jika saat ini saya terlalu memikirkan
nama baik sendiri dan main aman untuk sesuatu yang sebenarnya merugikan. Malu
sekali. Saya rindu dengan diri saya ketika masih kuliah S1 dulu dan masih
berharap suatu hari saya berhasil membangkitkan kembali sosok itu.
Suhu dalam tiga puluh
hari ke depan akan terus menurun. Dan dalam dingin yang tidak selalu
menyenangkan ini, saya harus segera mengalahkan diri saya sendiri. Penyakit.
Foto: Reginar