Malam itu saya mendapatkan giliran menjadi petugas parkir shalat tarawih. Angin dingin berhembus menembus sweater, suhu saat itu tercatat enam derajat celcius. Langit cukup terang walaupun di sebagian sisinya disesaki kumpulan awan. Memang beberapa jam sebelumnya hujan rintik-rintik turun.
Petugas parkir terbagi dua kelompok. Satu menjaga bagian depan masjid yang berhadapan langsung dengan jalan raya, dan bagian satunya lagi bertugas di belakang masjid, meminjam lapangan parkir sebuah sekolah.
Saya selalu memilih berada di kelompok kedua untuk sebuah alasan sederhana: karena sudah biasa. Selain itu, lapangan parkir yang relatif luas, kira-kira setengah lapangan bola, memudahkan saya untuk mengarahkan kenderaan.
Memarkirkan kenderaan terkadang bukan pekerjaan yang mudah untuk ibu-ibu. Begitu juga malam itu, seorang ibu dengan anak-anaknya susah sekali memarkirkan mobilnya dengan rapi. Saya berinisiatif mengarahkan ibu-ibu itu ke sebuah sudut kosong, dekat dengan pohon dan semak-semak, persis di depan pintu masuk. Maksudnya agar mereka nanti bisa mudah keluar. Semuanya berjalan lancar hingga anak perempuan ibu itu membuka kaca mobilnya dan berkata, "Maaf, kami tidak bisa parkir di sana. Di situ ada seorang perempuan."
Saya melihat ke tempat yang dimaksud, di sana tidak ada siapa-siapa. Kosong.
Seperti membaca kebingungan saya, si ibu kemudian menjelaskan.
"Maaf, dik. Anak saya punya kemampuan 'melihat' (indigo)."
Bulu kuduk saya berdiri. Saya pun mengangguk dan mengarahkan mereka ke lokasi parkir lain. Sempat terpikir bukannya ini bulan puasa? Ketika menceritakan ini dengan seorang teman, ia bilang barangkali itu jin, bukan setan. Jadi ya ia tidak dibelenggu. Entahlah. Teman saya yang lain, dengan tanpa berdosa, menebak itu adalah sosok Valak. Sial. Alhasil saya pun parno semalaman.