Archive for 2015

Fragmen #5


Desember Cinta

Selain musim hujan, Desember ini juga musim kawin. Banyak teman saya yang menikah. Selain karena faktor dinginnya cuaca, ramainya pasangan yang mendaftar di KUA juga dicurigai karena akhir tahun adalah musim diskon (kata teman saya yang jomblo)—apakah termasuk mahar? Saya juga tidak tahu.

Untuk yang menikah saya mengucapkan selamat. Semoga Allah yang maha pengasih memberikan berkah dan kebahagiaan. Untuk yang belum, mari kita ngopi. Menurut penelitian, ngopi bisa meredakan gemuruh di dalam hati. Kita juga bisa saling #pukpuk (muntah).

Pertanyaan

Sekarang, saya tidak berani bertanya (atau bercanda) tentang pernikahan dengan teman, apalagi dengan teman perempuan. Rasanya tidak sensitif begitu.

Setelah memerhatikan beberapa teman yang menikah, apakah mereka mengawalinya dengan pacaran bertahun-tahun atau ta’aruf beberapa bulan, keduanya merupakan proses yang tidak sederhana. Walau ada beberapa perbedaan di sisi-sisi tertentu, tapi secara umum sama-sama memerlukan usaha yang luar biasa.

Kadang-kadang ketika saya sedang ngobrol dengan seorang senior yang masih lajang, ada saja yang datang lalu bertanya ke kawan saya itu: “Kapan nikah? Cepatlah, apa lagi lama-lama.”—yang diikuti oleh candaan basi lainnya. Saya agak naik tensi kalau ketemu orang seperti itu. Dia kira nikah itu semudah memasak indomie. Apalagi saya tahu beberapa teman sedang usaha luar biasa, hanya belum ketemu jodohnya saja. Ya harus bilang apa.

Oleh karenanya saya setuju dengan petuah seorang teman: “Barangsiapa bertanya kepada saudaranya kapan dia akan menikah, paling tidak dia memiliki satu dari dua hal ini: calon pendamping untuk saudaranya itu atau sejumlah uang untuk bantuan mahar.” (Catatan: teman saya itu bukan nabi dan dia juga masih sendiri).

Sunday, December 27, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 9 comments

Fragmen #4



Al- Isra (23-24)










SIM


Ketika memperpanjang SIM C beberapa minggu yang lalu, saya melihat sikap sebagian masyarakat belum berubah. Dengan alasan tidak lengkap membawa syarat, seperti surat kesehatan badan dan surat kesehatan jiwa, mereka enteng saja memberikan uang lebih ke polisi—yang dengan ajaib menerima bahkan menawarkan ‘kemudahan’ tersebut (dua tahun lalu ketika memperpanjang SIM A, saya pernah menulisnya di tautan berikut). Lebih canggih lagi, ada seorang ibu yang membuat (bukan memperpanjang) SIM A dengan membayar 400 ribu ke petugas. Sebuah simbiosis yang mencederai moral. Belum lagi bicara kegilaan membiarkan seseorang yang belum layak dapat SIM berkendara di jalan raya.

Saya percaya banyak orang yang tidak suka korupsi, jijik melihat koruptor, namun tidak sadar menjadi bagian dalam melahirkan perilaku koruptif. Kalau dihitung biayanya, memang tidak jauh berbeda antara mengurus semua kelengkapan syarat sendiri dan menyogok petugas. Jika melihat efisiensi waktu, malah mengurus lewat petugas bisa lebih cepat. Namun di sini kita bicara efek negatif ke depannya.

Apa tidak sakit dada melihat Indonesia? Dari level bawah sampai atas kerjanya begini semua.

Pepaya

Biasanya sebelum makan nasi, saya makan pepaya agar pencernaan lancar. Selesai makan, saya makan pepaya lagi sebagai pencuci mulut. Ketika Aceh kedatangan pepaya california, saya jadi lebih tergila-gila. Walau buahnya berukuran sekitar 1-2 kilogram, jauh lebih kecil dari jenis pepaya bangkok yang bisa sampai 4 kilogram, tapi rasa manisnya sampai 14 brix—sementara bangkok sekitar 11 brix. Tak heran beberapa penjual menyebutnya pepaya madu. Harganya juga cukup terjangkau dengan kisaran 6-10 ribu tergantung ukuran dan kelihaian menawar.


Screenshot ayat: alquran-indonesia.com

Wednesday, December 23, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , Leave a comment

Fragmen #3



Max

Saya baru tahu ternyata Massimiliano Allegri begitu ekspresif. Dia gemas melihat pertahanan Juventus yang mulai merayakan Natal ketika sudah menang 1-3 atas Carpi. Puncak kekesalannya terlihat ketika Lollo hampir menuntaskan peluang bersih—skor saat itu sudah 2-3—yang nyaris membuat Juventus pulang dengan 1 poin. Saya tertawa gila melihatnya melepaskan jaket (sesungguhnya terlihat seperti mengoyak), melemparkannya, lalu berteriak kesetanan di pinggir lapangan.

Semalam sebenarnya tidak ada rencana menonton Juve, tapi operator di Kedai Sahabat memutarnya sambil menunggu Watford vs Liverpool tayang. Semenjak Jürgen Klopp melatih, saya sering meluangkan waktu untuk menonton The Reds—yang malam itu memerlukan banyak #pukpuk.

Level Ilmu

Jika belum menelusuri secara mendalam, saya tidak berani mengomentari pendapat seorang ahli ilmu, profesor, ulama, atau yang setingkat mereka, dengan asal-asalan.

Saya lupa membacanya di mana, tapi saya sering mengamalkan pernyataan ini: sesuatu yang dihukumi benar oleh seorang ahli ilmu tingkat tinggi bisa jadi dihukumi salah oleh para pemula (dan sebaliknya). Tidak bisa dimungkiri, seseorang yang bacaannya banyak, perjalanannya panjang, dan pergaulannya luas, memiliki jangkauan pemahaman yang tidak dimiliki seseorang yang baru membaca beberapa halaman, jarang jalan-jalan, dan hanya bergaul dengan komunitas itu-itu saja.

Jangan asal meludah nanti bisa kena kaki sendiri.

Tahun Depan

Insya Allah tahun depan saya akan kuliah walau masih remang-remang di mana.

Beasiswa di satu sisi membuat saya sedikit takut. Ada uang masyarakat di sana. Semoga sepulang studi nanti ada sesuatu bermanfaat yang bisa saya bawa pulang—bukan sekadar foto selfie atau kesenangan-kesenangan pribadi lain yang terlihat seperti masturbasi.

 

Sumber foto: REUTERS/Alessandro Garofalo
Video: Youtube

Sunday, December 20, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , Leave a comment

Fragmen #2




Bulu Mata

Tadi ketika sedang makan indomie, sehelai bulu mata saya jatuh ke dalam mangkok. Ini adalah tanda kerinduan. Sayangnya saya tidak bisa menebak percis siapa. Mungkin diri saya kepada diri saya sendiri.

Apong Tahun 2008

Apong bernama asli Muhammad Naufal. Dia adalah adik kandung saya yang pertama dan terakhir. Saya biasa memanggilnya dengan Apong, Pong, Robi, Robiro, Robigatsu, Pororo, atau nama-nama abstrak lain. Yang jelas jika dipanggil, dia selalu melihat—walau sedikit cemberut.

Pada tahun 2008 Apong masuk SD. Biasanya waktu pulang saya yang menjemput. Anak SD kelas 1 pulang sekitar jam 10.00. Saya selalu menjemputnya dengan motor dan saat itu dia sudah bisa dibonceng di belakang (sewaktu TK dia duduk di depan). Apong sering tidur dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya harus menahan badannya dengan tangan kiri agar tidak jatuh. Betapa imutnya manusia sewaktu kecil.

Seorang Perempuan

Jumat itu saya memilih shalat di Masjid Oman, Lampriet. Saya masih menunggu lampu lalu lintas berubah hijau di sebuah simpang ketika mata saya tertuju kepada seorang perempuan.

Dia memakai baju yang modis, melekat pas sekali di badan, dengan perpaduan warna serasi. Otak saya menerjemahkannya sebagai cantik. Hati saya menerjemahkannya sebagai nakal.

Lampu hijau. Kenderaan-kenderaan mulai merayap maju. Saya dan perempuan itu berbelok ke arah yang sama. Ketika hampir mencapai kawasan masjid, dia memperlambat laju motornya (hampir berhenti) dan berteriak kepada anak-anak pesantren yang duduk di atas pagar masjid.

“Turun, dek! Turun!”

Ketika anak-anak itu mulai turun, dia kembali mempercepat laju motornya dan pergi.

Jujur saya tidak pernah berpikir anak-anak itu sedang melakukan sesuatu yang berbahaya. Saya abai menaksir akibat yang muncul jika salah seorang dari mereka jatuh dari sana.

Siang itu saya kembali diingatkan agar tidak menilai seseorang dari pakaian. Pakaian hanyalah salah satu hal yang melekat di badan manusia. Ada banyak hal-hal lain di baliknya.

(Sayang sekali tidak sempat kenalan)

In Memoriam: Ayam

Ayam saya adalah yang paling tampan sekampung dan dia memiliki koneksi internasional. Bapaknya berasal dari kawasan perkotaan Thailand dan ibunya adalah bunga desa dari Vietnam.

Saya tidak bercanda ketika bilang dia tampan. Dia memiliki tubuh yang tegap, kepakan sayap yang tegas, dan di pipinya ditumbuhi brewok (seperti tren remaja masa kini) tanpa perlu diolesi Firdaus. Ketika mulai bisa berkokok, saya perhatikan dia sudah berani main-main dengan ayam betina di rumah dan terkadang saya pergoki dia main mata dengan ayam tetangga.

Ayam ini juga memiliki sisi kesalehan. Setiap sepertiga malam dan menjelang subuh, dia bangun untuk berkokok. Sementara orang-orang lain bangun untuk kencing lalu tidur lagi.

Perpisahan saya dengan ayam ini terjadi di suatu pagi. Saya pikir dia mati karena pagi itu tidak ada suara kokok. Rupanya dia telah dibawa pencuri. Maling ayam jantan adalah salah satu yang paling saya benci. Ayam curian nantinya akan dilacurkan di arena sabung ayam. Mengapa mereka tidak beli anak ayam sendiri? Saya rasa sulit bagi orang-orang berperasaan untuk menyabung ayam yang mereka rawat dari kecil. Saya saja sangat eneg dan cenderung menghindari makan ayam yang saya pelihara sendiri.

Selamat jalan, bro. Semoga sukses. Bertarunglah dengan berani. Jangan lari.

Menolong


Menolong adalah salah satu insting dasar manusia. Ia adalah sebuah kata kerja otomatis. Jika tubuh kita memaksa untuk tidak melakukannya rasanya bisa tidak enak. Seperti misalnya ada orang kecelakaan di jalan. Mau bantu tapi malu. Mau langsung gerak nanti takut dibilang sok gaya. Akhirnya kita memilih lewat saja dan percaya atau tidak, ada rasa sakit yang hinggap di dalam dada.



Saturday, December 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , Leave a comment

Fragmen #1



Bus

Oktober lalu saya berangkat ke Medan untuk tes IELTS dengan menumpang Bus Putra Pelangi. Ongkosnya 180 ribu. Saya suka naik Pelangi karena supirnya terkenal tidak suka ngebut dan cukup waras untuk mampir di warung sate matang, di kawasan Bireuen. Walaupun bus sampai di sana sekitar pukul 2 atau 3 dini hari, kantuk tidak mampu menghapus rasa lapar lidah saya untuk menikmati sate matang yang asli. Di Banda Aceh tidak ada warung yang rasanya benar-benar sama dengan yang ada di Matang. Ada yang pas potongan dagingnya (saya berbicara tingkat ketebalan), tidak enak kuah sotonya. Ada yang oke soto dan dagingnya, kurang lezat kuah kacangnya. Ada yang enak semuanya, kecil porsinya. Intinya kenikmatan sate matang masih menjadi monopoli Matang sebagai tempat asalnya.

Ngomong-ngomong bus, saya teringat kejadian delapan tahun yang lalu. Saya pulang ke Kuala Simpang sendirian dengan bus untuk merayakan Idul Fitri. Saya duduk di kursi nomor 5 dan dari rumah sudah berandai-andai siapa yang nanti duduk di kursi nomor 6. Dalam beberapa menit jawabannya muncul: perempuan. Ya, perempuan dengan anaknya yang masih balita.

Saya kira mereka adalah ibu dan anak biasa, hingga perempuan itu mengeluarkan ponsel dan mulai menelepon sambil menangis. Karena suaranya yang cukup nyaring, saya bisa mendengar dia berbicara dengan seorang lelaki. Dalam beberapa menit saya menyimpulkan dia adalah mantan suaminya. Mereka harus berpisah karena suatu sebab dan ini malam perdana perpisahan itu.

Saya mendadak bingung harus berbuat apa. Apalagi ketika anak dan ibu itu mulai kompak menangis ketika percakapan mencapai babak akhir. Saya pun membenamkan muka di pinggir jendela, pura-pura tidur. 

Beberapa menit berusaha tidak peduli, tanpa saya saya sangka perempuan itu mencolek punggung saya. 

Saya menoleh takut-takut.

“Om, tolong jaga anak ini. Saya mau ke toilet.”

Mendadak saya merasa diri seperti aktor utama penyebab retaknya rumah tangga orang lain.

IELTS

Saya sudah pernah tes IELTS pada tahun 2013 dan mendapatkan skor 6.0. Kemudian saya ikut tes lagi pada Januari 2015 dan kembali mendapatkan 6.0. Lalu Oktober saya memberanikan lagi untuk tes dan sempat stress menunggu-nunggu hasilnya.

Sebelum tes, saya melakukan refleksi kegagalan. Sederhana saja, dalam dua tes sebelumnya saya tidak belajar. Sok gaya.

Alhasil sepulang pembekalan beasiswa, saya bertarung dengan diri sendiri. Memaksa otak malas saya untuk belajar. Kemalasan tersebut menang beberapa hari hingga saya sempat frustasi bagaimana bisa mendapatkan husnul khatimah pada IELTS kali ini. Pada akhirnya, saya menyiasatinya dengan memakai metode belajar tidak langsung. Saya bergegas ke rumah teman dengan flash disk kosong. Saya mengopi film yang sangat banyak, di antaranya adalah serial the Big Bang Theory dan Game of Thrones (GoT)—jari saya standby pada tombol skip ketika menonton GoT. Saya juga rajin membaca artikel bahasa Inggris di beberapa situs seperti brainpickings.org dan mendengar ceramah di ted.com. Saya mulai menulis harian dengan bahasa alien (bahasa Inggris dengan kosakata sulit yang saya sendiri langsung lupa begitu menuliskannya). Malam-malam sebelum tidur, saya bicara Inggris sendirian dalam gelap. Semua saya lengkapi dengan mengerjakan soal dari buku Cambridge IELTS. Jika dihitung-hitung, sehari saya meluangkan sekitar dua belas jam untuk ritual itu. Hampir muntah.

24 Oktober 2015 tes tersebut berlangsung. Beberapa minggu kemudian skornya keluar. Saya melihat sambil mengintip. Hasilnya 7.0. Alhamdulillah. Saya langsung sujud seperti yang dilakukan Demba Ba sewaktu mencetak gol, dan menunjuk langit dengan dua jari seperti Kaka. Tidak buruk untuk orang bodoh seperti saya.

PMS

PMS adalah premenscholarship syndrome. Ini adalah sidrom yang menyerang calon penerima beasiswa yang belum jelas di mana kampusnya. Jika PMS pada perempuan sakitnya di sekitar perut, PMS pada abang sakitnya di dada, dek.

Saya adalah calon penerima beasiswa program Dalam Negeri (belum teken kontrak) pada sebuah lembaga, dengan tujuan Universitas Pendidikan Indonesia, jurusan Pengembangan Kurikulum. Entah karena suhu Bandung terlalu dingin pagi itu atau karena saya terkejut dipanggil “AA” oleh perempuan di sana, saya tidak lulus seleksi masuk di jurusan tersebut. Saya diberikan waktu satu tahun untuk mengonfirmasi kampus.

Satu tahun itu 365 hari dan saya bisa gila jika lama-lama tidak kuliah. Atas dasar tersebut dan beberapa alasan lain yang lebih akademis, saya memutuskan tes IELTS lagi agar bisa studi di luar negeri. Setelah mencari universitas yang menyediakan program yang sesuai dan bermutu, jatuhlah pilihan pada Monash University dengan jurusan M.Ed in Educational Leadership and Policy. Dengan menggunakan skor IELTS terbaru saya melamar dan alhamdulillah diterima tanpa syarat (unconditional LoA).

Tantangan selanjutnya adalah mengajukan surat permohonan pindah universitas. Saya menulisnya sepenuh hati, penuh harap, dan ketika mengirimkannya saya mengucapkan bismillah agar berkah. Namun sampai sekarang, pihak pemberi beasiswa belum memberikan jawaban “ya”, “tidak”, atau “lengkapi lagi ya, dek. Ada syarat yang kurang tuh.” Agak tidak enak digantungkan seperti ini, walau untungnya saya sudah biasa dibeginikan (#pukpuk).

Akhirnya, PMS masih berlanjut sampai sekarang. Membuat saya kadang-kadang uring-uringan, suka marah-marah, makan banyak, dan inginnya sendirian saja. Saya suka gak enak sama teman atau saudara. Kalau mereka butuh bantuan atau kawan bercanda (dan PMS-nya kumat), saya  tidak bisa memberikan apa-apa. Saya tidak lagi menjadi orang yang mereka kenal. Maaf ya. Saya hanya butuh pengertian, cokelat patchi, dan sebaris kata #pukpuk (saya menulis ini sambil tertawa).

Friday, December 18, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 8 comments

The Questions



Questions never stop coming.

In the East where people normally too care with others (or maybe too curious), we can’t expect to liberate ourselves from questions. First it knocks our door with how are you, then what are you doing, where do you want to go, what is your job, when are you going to depart, when will you get married, and a full basket of other queries that lead us to think: am I a suspect or something? Are you my mama whom I should gradually give reports to her about anything? Too many questions will make people sick.

Well, maybe it’s just the way to start a conversation, particularly used by people whom we rarely meet. But for me, it’s more like an interrogation—and because it sounds like a vocabulary for murderer or terrorist, I don’t always like it.

Or perhaps, it’s not questions that bother us, but our current condition. For the time being, I hate when people ask me when (or where) I am going to study. It requires long answer and besides that, I am still working on it. It’s not simple. I’m imagining if I’m officially accepted by a university, it’ll be easier for me to give a respond. At least, I will deliver a more whole-hearted reply. 

We can’t make people stop questioning our life, but we can do something to make our heart feel better when it comes. If you agree with me that the nuisance doesn’t only lie on questions (it also resides on condition), then we need to strive to make our plan’s working and our dream’s coming true. If you in the middle of something, you must finish it. If your life design is still inside your mind, push your body to start it. Progress will always be a good news, while stagnation will constantly be an awful broadcast.

With that said, the real problem is not question itself; it’s our response toward it. It’s like a morning alarm which gives us three options: to ignore, to snooze, or to wake up. So what is your best reaction?

Tuesday, October 6, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 4 comments

Problem



The rule is really simple actually: if you have a problem, just find some solutions, and execute.

You may not know whether you can deal with it or not, but at least you learn something. So that you can figure a better solution in the future and finally solve the matter. 

It's your right to complain. However, complaining will never be an answer. It's just a kind of temporary release.

If you open your eyes and see the world, you will realize that you are not alone. Everyone has their own problems. What makes it different is their response: some people fight, some people grumble, and some people just run away.

No matter how hard it is, please don't give up, just fight. It's for you, your family, your friends, your country, your faith, or everything you love or all of things that love you back.

Wednesday, September 23, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 2 comments

The Heart of Life



The rumor was spreading one or two months ago and the exact truth just came yesterday. It was a happy moment, right? It’s one of the greatest, wasn’t it?

You’ve made it. From deep inside my heart, I’m saying congratulations. It’s not easy to start a new phase, particularly on heart matters. For most of people it’s even like reading Sophie’s World: they need to spend more time to understand before turning to the new chapters.

Sometimes I think, or let say it’s a kind of interviewing the fate to get an explanation. The questions would be like: What is love actually? Why did we meet lots of people but only fell in love to one of them? What is broken heart? Why do two in-love people separate? What is the real love? What is the fake one? What is the reason behind marrying someone? And what is the reason behind letting someone go?

I haven’t really understood at first. But when I’m dragging myself into my own silence space, I think I get something. By what we’ve done in the past, we are learning. We became both teacher and student to ourselves. We learnt how to understand feeling, how to set vision in life, and even how to define ourselves. We strove to figure out the most suitable time to fix, to adapt, and—the last one—to stop our relationship when we’re reaching our dead-end. We’ve also discovered that the best step to start a new life is by forgiving. That being a friend is much more precious than being an enemy. Those are some reasons why we meet in this world, says my shallow intelligence.

Don’t worry. It’s not a long reading, but when I’m typing it, my mind is playing John Mayer, the Heart of Life. It says in this world, we will face bad news and pain. That sometimes things don’t go as the way it should or the way people expected. But people have to know that the life has a good heart. It will lead them to things they need—and sometimes it’s not the things they want.

Well, good luck. I always pray for you.

Sunday, September 20, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 11 comments

Mid-Twenties



I will be twenty-five on December and I little bit worried about myself.

I don’t know whether it’s normal, but I’m still on my way of finding myself. If you are my close friends, you know that I have changed my job a lot: a teacher, an editor (and journalist), a public relations officer, or –maybe the quite loud one—an aspiring writer, and for the time being, a lecturer. Without exact life goals, I feel like being Jack Sparrow without compass: kind of lost. And mentioning that I’m still talking about “finding myself” again and again, makes me—or even people near me—sick.

Last week, I just came back from Yogyakarta. It was a scholarship pre-departure program hosted by LPDP. I want to tell you that I miss them a lot: the people, the moments, everything. It was a super fantastic event. I will share about it later. What I want to say here is that I envied other awardees because inside my eyes, they knew precisely what they’re going to do and what they were living for. Those people are superb, while in other side I’m just a kind of adverb.

However, the burden of being a Jackie Chan on Who Am I doesn’t trigger the bullet of negativity inside me. Or let say sometimes it does, but fortunately it can’t lead my entire body and mind. For the time being, I treat life as the pilgrimage of finding meaning of my own existence. I may be far from the finish line but as long as I keep walking, I think it is fine. 

2016 is near. I am going to continue my education on that year insya Allah, but please don’t ask me where (I’m still working on getting Letter of Acceptance). Talking about study, I remember the first lecture I gave to matriculation students: did you know why you were here? Right know I’m asking the same question to myself. And the fact that I’m awardees of a scholarship program and being prepared to be a future leader or a kind of life-changing monk within my community, ignites tsunami inside my brain: can I do that? The reality that I still work on defining myself makes me little worried, while in other hand the actuality that I’m not idle also create a good wave of positivity.

Sometimes I’m standing against my favorite quote “just do it” and deciding to be an agent of “just think it”. Or maybe I over-ruminate all of this and I’m unconsciously filming (and also playing) a stupid television drama.  Well I’m still confused, but at least I’m moving. I’m doing something. With that said, the next five years will be a very vital journey of my life. And I won’t give up of discovering my meaning.

P.S: I write in English because I am going to have IELTS test on October. This is a kind of practice and adaptation. Pray for me yeah :D

Friday, September 18, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 10 comments

Jadilah Tenang



Jadilah tenang.

Pertama kali saya mendengar kalimat itu di sebuah iklan parfum. Walaupun iklan itu gagal membuat saya membeli produk tersebut, tapi saya mulai memahami bahwa nasihat itu ada benarnya.

Mengapa kita harus tenang?

Dunia pada sebuah dimensinya adalah keriuhan. Tempat orang-orang sibuk bertahan hidup, mengejar impian, atau menuntaskan rencana. Ketenangan diperlukan agar kita tidak terbawa arus kehidupan orang lain. Mengejar karir yang sebenarnya bukan diri kita. Melakukan sesuatu yang pada dasarnya tidak kita perlukan. Bahwa sesungguhnya dalam setiap pilihan dan tindakan yang kita ambil, setiap orang memiliki ruang untuk berpikir dan bertanya: mengapa kita melakukannya? Adakah manfaatnya? Apakah itu benar atau salah?

Dengan memilih menjadi tenang, kita sesungguhnya sedang mempertajam akurasi kehidupan. Setiap orang telah dihadiahkan kado berisi jumlah waktu yang ia miliki, walau sayangnya jumlah tersebut akan selalu menjadi misteri. Oleh karena itu, kita memerlukan ketenangan agar bisa menjauhkan diri dari keputusan yang tergesa-gesa dan tindakan yang sia-sia, untuk kemudian menjadi pribadi yang lebih berguna. Walau ya kadang-kadang, dihadapan seorang bidadari ketenangan akan sirna sama sekali. Saya paham itu.

sumber gambar: hdwallpapers360.com

Thursday, August 20, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Perasaan, Logika, dan Palang Merah Indonesia


Pada akhirnya saya menyadari bahwa untuk mengambil keputusan saya tidak bisa semata-mata menggunakan perasaan, termasuk soal percintaan. Hubungan dengan seseorang pernah kandas justru di tahap ketika semuanya ingin dibawa ke jenjang pernikahan. Saya (dan barangkali dia) hidup dengan memandang satu sama lain dengan proyeksi yang muncul dari perasaan masing-masing, bukan kebenaran. Sederhananya begini. Ketika saya melihat atau menilai dia, saya sesungguhnya tanpa sadar meletakkan karakteristik perempuan idaman saya pada dirinya. Perasaan yang meluap-luap membuat saya alpa dari melihat dirinya sebagai dirinya sendiri. Ini mungkin juga dirasakannya kepada saya sehingga ketika kami masuk ke ranah logika, mencocokkan lagi prinsip hidup, sifat (yang paling mendasar), serta visi dan misi ke depan, eh kenapa tiba-tiba semuanya jadi begitu berbeda. Kami seperti saling bertanya: apakah itu benar-benar kamu? Dan saya (mungkin juga dia) mulai menyadari bahwa selama ini kami tidak pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Larut dalam ilusi-ilusi indah kami sendiri.

Butuh waktu untuk membersihkan debu yang telah menempel lama di atas kaca. Begitu juga ketika kebersamaan yang telah berlangsung bertahun-tahun harus diakhiri. Saya memerlukan waktu mengenal diri saya lagi dan menyiapkan hati untuk memulai sesuatu yang baru. Setelah kejadian itu saya melihat perempuan seperti melihat kayu. Sulit sekali benar-benar tertarik walaupun mereka sangat menarik. Hal ini saya rasa berakhir di suatu pagi di Palang Merah Indonesia (PMI).

PMI adalah salah satu tempat favorit saya ketika sedang frustasi dan merasa kurang berguna bagi kehidupan ini. Ada saat-saat ketika saya merasa diri seperti sampah dan satu-satunya yang masih berguna untuk orang lain dari saya adalah darah. Sialnya sejak terakhir kali donor di bulan Januari 2015, saya sekitar tiga kali ditolak karena kadar hemoglobin (Hb) yang tidak sampai 12,5. Beberapa bulan kemudian saya masih tidak bisa donor karena sakit dan sedang minum obat. Ketika sudah sehat 18 Agustus lalu, saya memutuskan pergi ke PMI pagi-pagi (biasanya saya lebih suka malam). Dan momen-momen selanjutnya membuat saya secara otomatis berucap “oh Tuhan”.

Perempuan itu adalah seorang staf magang. Saya belum pernah melihatnya karena baru dua minggu dia bekerja. Dia duduk di meja administrasi. Temannya bertugas mengecek kadar Hb sementara dia mendata calon pendonor. Seperti biasa saya menyerahkan kartu dan bilang ingin mendonor sukarela. Dia memberikan selembar kertas isian dan pulpen. Sementara saya mengisi, dia mengecek data saya di komputer. Dia tertawa kecil. Mengomentari tanggal dan bulan lahir saya yang sama dan juga menyebut bahwa kami hanya berbeda dua tahun. Saya tersenyum tipis. Setelah dites kadar Hb, saya pun dipersilakan masuk ke ruang donor.

Saya ditangani oleh temannya yang tadi mengecek Hb. Sebelumnya dia mengambil alat tensi darah, membebat lengan atas saya, memompa hingga tekanannya menjadi sekitar 100 cc, menurunkan, dan menyatakan tekanan darah saya oke. Dia kemudian memompa lagi untuk mencari pembuluh darah saya, namun entah mengapa dia lupa atau terlalu lama menurunkan tensinya. Saya tidak begitu sadar karena lengan kanan saya memang agak kebas hingga perempuan yang bertugas memasukkan data pendonor itu datang dengan tergopoh-gopoh untuk menurunkan tensi. Dia meminta maaf (atas kelalaian temannya) karena telah membuat tangan saya pucat. Dia tetap berdiri di situ sambil melihat temannya menusukkan jarum ke pembuluh darah saya yang entah karena gugup menimbulkan lebam di sekitar lokasi penusukan. Jarum dicabut lagi, kali ini oleh staf senior di sana. Dia lalu memutuskan untuk menusukkan lubang baru di lengan kiri.

Selesai mendonor, perempuan itu masih duduk di meja admin. Saya memilih berbicara sebentar dan berterima kasih. Ada beberapa detik momen diam, uncomfortable silence bahasa di film Pulp Fiction. Tapi itu sebuah keheningan yang saya nikmati. Saya lalu pergi dan menyimpan harapan bisa mengenalnya lebih dalam lagi.

Saya terlalu senang barangkali hingga cerita itu saya ceritakan ke beberapa orang teman. Salah seorang dari mereka adalah orang Amerika yang sedang berlibur beberapa hari di Aceh. Atas ide gila saya sendiri, keesokan harinya kami sudah sampai di PMI. Teman saya yang bule itu mau mendonorkan darah, saya mau bertemu dia. Sayangnya dia tidak sedang berjaga, jadwalnya sore. Lalu entah bagaimana caranya teman saya itu menggiring ke sebuah pembicaraan dengan staf-staf lain di sana. Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataannya dan segala bumbu-bumbu lain bahwa saya ke sana khusus untuk bertemu dengannya. Muka saya merah ketika salah seorang staf di sana menyuruh saya menitipkan nomor telepon saya sendiri di sana.

Sore harinya dia mengirim pesan singkat kepada saya. Isinya singkat dan sopan. Dia menyambut ajakan kenalan saya. Tapi kemudian saya merasa ada yang tidak benar dengan hal ini. Euforia, kecepatan, dan tindakan saya sepertinya terlalu buru-buru dan vulgar. Saya jadi terkenang hubungan saya yang terdahulu yang juga diawali oleh hal yang tiba-tiba seperti ini. Mendadak saya merasa bersalah dan menilai perlu menjumpai seorang teman perempuan yang saya anggap lebih dewasa cara berpikirnya dari saya.

Ada beberapa kesimpulan yang muncul dari pembicaraan kami. Pertama, saya sepertinya terlalu lama sendiri, meminjam judul lagu Kunto Aji. Jadi ketika ada perhatian ringan yang saya dapatkan, pikiran saya bersepakat untuk melebih-lebihkan. Bisa jadi memang dia memberikan perhatian itu, tapi ada kemungkinan juga itu merupakan prosedur standar operasional ketika seorang tenaga medis melihat kekeliruan yang dilakukan oleh rekannya. Kedua, saya bersikap seperti orang yang sedang membutuhkan kekasih sekarang, saat ini juga, dan saya dalam posisi siap membangun rumah tangga. Kenyataannya saya bahkan belum selesai dengan diri saya sendiri dan ditakutkan semua hal yang saya lakukan itu hanya didasari oleh euforia dan obsesi belaka. Ketiga, saya disarankan menjelaskan posisi saya yang sebenarnya kepadanya bahwa saat ini saya hanya ingin berkenalan saja. Hal ini dilakukan agar tidak ada ekspektasi yang berlebihan.

Malam harinya, saya diskusi lagi dengan beberapa teman lelaki. Salah seorang dari mereka mempunyai perspektif menarik. Dia bilang saya termasuk orang yang susah sekali suka atau tertarik dengan perempuan. Jadi kesempatan ini jangan dibuang begitu saja. Coba dijalani dulu. Berusaha saling mengenal. Kalau cocok bisa dilanjutkan ke tahap yang lebih serius, kalau tidak ya cukup berada di garis pertemanan saja.

Pada akhirnya saya memilih memadukan saran-saran mereka. Saya menghubungi dia dan menjelaskan singkat bahwa saya ingin mengenalnya lebih jauh dan itu dilakukan (saat ini) dalam ruang pertemanan saja. Kali ini saya menahan diri untuk tidak terburu-buru, gerasah-gerusuh, dan terlalu memperturutkan perasaan. Saya harus berhitung dengan cermat dan memakai logika yang masuk akal. Saya tidak mau kejadian yang dulu terulang. Capek.

Untuk mulai bercinta kita memang butuh perasaan, tapi ketika perasaan itu menjadi terlalu dominan, ia bisa menghilangkan akal sehat (logika) kita. Akhirnya, kita tidak lagi bisa melihat seseorang itu sebagaimana adanya, melainkan hanya imaji-imaji palsu yang diciptakan pikiran kita sendiri—lalu terkejut ketika menemukan siapa dirinya yang sebenarnya.

Huft. Saya merasa telah merepotkan banyak teman, terutama untuk masalah-masalah perasaan saya sendiri. Mulut mereka sudah berbusa menasihati saya dan itu, sampai ada yang rela-relain donor darah segala. Bro & Sis terima kasih banyak. Sudah mau susah-susahin diri untuk meladeni orang yang aneh, ribet, dan tak tahu diri ini.

Wednesday, August 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 8 comments

Ada Waktu


Ada waktu ketika dunia mengambil orang-orang yang kau kenal. Menyisakan satu-dua. Dan mereka adalah yang selamanya.

Kau tak boleh bersedih. Orang-orang berubah, termasuk dirimu sendiri. Maka kemudian masuk akal ketika ada yang datang, menetap, tinggal, atau pergi. Hati akan duduk dengan hati yang membuatnya tenteram. Dan akan menghilang dengan yang membuatnya muram.

Kau harus belajar bertahan hidup dengan dirimu sendiri. Terbiasa bahwa adakalanya kopi kau nikmati sendirian. Perjalanan kau susuri tanpa teman. Dan curahan perasaanmu hanya didengarkan oleh Tuhan. Kau tak boleh kalah oleh perasaan sepi. Karena ada masa ketika hakikatmu adalah kesendirian itu sendiri.

Belajarlah berbicara, bercanda, bercerita, dan bernyanyi bersama dirimu sendiri dan Tuhanmu. Karena ketika seluruh isi dunia ini meninggalkanmu, merekalah yang tidak akan pernah pergi: menetap di aliran darahmu; berdenyut di urat nadimu; menjadi abadi dalam kehidupanmu.
sumber gambar juanjoaza.com

Friday, July 24, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 5 comments

Takkan

Kalian bilang aku bijak
tidak
aku hanya terlalu sering buat salah
dan aku belajar
takkan menyerah.

Saturday, July 18, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Puasa Kaum Ghuraba'



Oleh: Emha Ainun Nadjib*

Jutaan hamba Allah yang berpuasa di muka bumi, jutaan Muslimin yang menyediakan diri untuk berprihatin selama Ramadhan, sesungguhnya diam-diam sedang melakukan proses penyembuhan atas sakitnya seluruh kehidupan di alam semesta ini.

Kita semua yang merelakan diri untuk berlapar dan berhaus sepanjang hari, yang berjuang menahan diri dari berbagai kenikmatan, serta yang menundukkan hati untuk membayarkan cinta kasih kepada Allah, pada hakikatnya sedang berperan mengurangi ketidakseimbangan kosmologis ketimpangan pergaulan nilai-nilai, serta mengutuhkan kembali bangunan ciptaan Allah yang selama berbulan-bulan sebelumnya kita rusak-rusak, kita retakkan-retakkan, dan kita gerogoti.

Aktivitas puasa adalah mengendalikan bagian-bagian dalam diri fisik kita untuk melakukan pengendapan, sublimasi, diam, tunduk, memasuki 'kosong', agar berjumpa dengan 'isi yang sejati'. Usus kita bermeditasi, urat saraf kita meraba bagian dirinya yang terlambat, perut kita bersabar, keseluruhan organ tubuh juga rohani kita mengerjakan proses peragian.

Orang-orang yang berpuasa, sebagaimana orang-orang yang mendirikan shalat, zakat, dan haji, pada hakikatnya sedang memperjuangkan keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh umat manusia. Zakat memacu distribusi kesejahteraan sosial, shalat mengembalikan kewajaran metabolisme kosmologis, sedangkan puasa menarik kembali kondisi dan harkat hidup umat manusia dari segala hal yang palsu dan tidak penting menuju nilai-nilai dan situasi hidup yang sejati dan berada dalam rangkuman Sunah Allah.

Kemudian ibadah haji adalah pesta rohani untuk merayakan keselamatan dan kemenangan itu. Ada beribu-ribu fungsi, kandungan nilai, makna, dan hikmat yang dimuat oleh ibadah di dalam Islam, juga puasa.

Makna dan fungsi ibadah tidak berlaku hanya pada diri pelakunya, tetapi juga bagi keseluruhan kehidupan ini. Seribu pemeluk agama Allah bisa mengembarai lautan makna ibadah berdasarkan pengamalan dan penghayatan serta perenungannya. Dan jika mereka tiba pada keterkaitan antara aktivitas shalat dan puasa massal yang berlangsung di seluruh permukaan bumi, mereka insya Allah akan menemukan betapa seluruh umat manusia seharusnya mengucapkan terima kasih kepada kaum Muslimin yang telah dengan setia menjalankan perintah ibadah, dan karena itu mereka turut memelihara keseimbangan kosmologis dan keselamatan hidup alam semesta ini.

Tetapi, siapakah yang mengetahui hal itu? Siapakah yang mengakui? Siapakah yang memiliki ilmu untuk sanggup memahami?

Friday, June 19, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , , , , Leave a comment

Hukuman bagi Kekasih



Oleh Emha Ainun Nadjib*

Kehidupan semua Nabi dan Rasul Allah penuh dengan kisah-kisah tentang puasa. Baik puasa dalam arti harfiah langsung maupun puasa dalam pemaknaannya yang lebih luas. Bukankah segala perkara yang kita alami bersama selama beratus-ratus abad di muka bumi ini dimulai dan disebabkan oleh baginda Adam As, yang mokel, seharusnya menahan diri tak makan buah larangan itu tetapi beliau memakannya?

Seandainya Allah mengonsep suatu takdir yang lain, di mana Adam bersetia tidak menyentuh larangan, maka apakah sekarang ini kita perlu repot dengan kacaunya negara, dengan penggusuran tanah di bulan Ramadhan.

Kita tentu sudah adem ayem tentrem di surga Jannatun-Na’im, tanpa perang dan kecemburuan, tanpa pergaulan yang menjadi kacau oleh kejahatan dan kebodohan yang tak pernah disadari sebagai kejahatan dan kebodohan, tanpa pembengkakan problem-problem sosial yang tak habis-habisnya.

Tetapi, memang salah satu metode dialektika untuk menciptakan dinamika kehidupan manusia yang dirancang oleh Alah adalah fenomena laku puasa. Allah sendiri bersifat sangat “romantik” terhadap puasa dan dalam berbagai kisah menunjukkan betapa Ia amat sangat menyediakan cinta kasih yang khusus kepada hamba-Nya yang sedang berpuasa. Para pelaku puasa seakan-akan selalu dipeluk-Nya, didekap, dan selalu disayang-sayang oleh-Nya. Kemudian, kalau ada orang lain yang menganggunya, Allah sangat bersegera membela dengan penuh melintasi. Anda kenal seorang pengembara yang bernama Zamyal?

Ia berjalan dari padang ke padang, dari benua ke benua, dari cakrawala ke cakrawala, meskipun tak banyak orang lain yang mengetahui bahwa ia senantiasa mengembara. Di dalam pengembaraannya ia senantiasa berpuasa, meskipun orang tak memahami bahwa ia sedang berpuasa. Bahkan, seorang Nabi besar yang alim saleh, Ya’cub namanya, pun terjebak; tak memahami dan tak memercayainya.

Pada suatu sore menjelang maghrib, Zamyal sahabat kita ini menghampiri rumah Ya’cub dan mengetuk pintunya:

“Ya ashabul bait! Berilah orang asing yang lapar ini makanan sekadarnya yang berasal dari sisa makanan kalian!”

Berkali-kali ia mengucapkan kalimat itu dengan wajah yang dibuatnya tampak menderita, padahal jiwanya sangat bahagia di depan Allah karena laku puasanya. Namun, Ya’cub dan keluarnya tak acuh terhadapnya, tidak memedulikan permintaannya dan membiarkannya berlalu dengan perut kosong. Zamyal kemudian melewati seluruh malam dalam lapar dan menjalani pagi hari berikutnya dalam lapar, sementara keluarga Nabi besar itu berbuka puasa dengan penuh kenikmatan, kemudian masih menyisakan makanan hingga pagi harinya.

Tak ada saat-saat nikmat melebihi situasi lapar, asing, dan sepi di hadapan Allah. Tidak ada kebahagiaan dunia melebihi mengucurnya air mata ketika seseorang meratapkan duka deritanya di hadapan Allah. Zamyal tidak pernah menangis di depan manusia, tetapi ia menumpahkan segala kecengengannya di depan lutut Allah. Sungguh-sungguh tak ada anugerah yang kenyamanannya melebihi keadaan diri terbuang dan terkutuk oleh manusia, tetapi ditangiskan kehadirat-Nya.

Maka demi mendengar Zamyal madul kepada-Nya, Allah langsung bagkit dan menggertakkan amarah-Nya kepada Ya’cub.

“Kenapa wahai Ya’cub engkau tidak mengasihi hamba-Ku yang kehidupan sehari-harinya bersahaja terhadap nikmat dunia? Ia terusir oleh ketidakacuhanmu, kemudian pergi dan mengadukan derita hatinya kepada-Ku. Tahukah engkau Ya’cub bahwa hukuman bagi kekasih-Ku lebih cepat datangnya dibanding hukuman bagi musuh-musuh-Ku? Tahukah bahwa hal itu Kusengaja karena besarnya penghormatan-Ku kepada kekasih-kekasih-Ku, sementara musuh-musuh-Ku, Kuabaikan terhanyut oleh lautan dosa-dosanya yang tak mereka ketahui bahwa itu dosa?”

Beberapa tahun kemudian Ya’cub kehilangan Yusuf, putra yang amat disayanginya. Dan sejak itu berlangsunglah kisah-kisah legendaris tentang sumur dan pedagang, tentang penjara dan ramalan mimpi, tentang menteri keuangan dan Zulaikha, dan sebagainya.

Ujung kisah-kisah itu berua happy end: sejak awal hukuman itu Ya’cub menginsafi kesalahan hidupnya, tetapi tetap harus menempuh waktu yang panjang untuk akhirnya menemukan ketentraman kembali bersama Yusuf yang besar dan anggun.

Itulah yang saya sebut dialektika dinamik. Adegan-adegan spektakuler Yusuf menyangkut seluruh kerajaan di mana mereka hidup, yang berhubungan dengan proses penghayatan nilai-nilai puasa, kesetiaan dan kesantunan sosial, dimulai oleh sebuah adegan yang sederhana—di mana “figuran” yang bernama Zamyal berjalan tersaruk-saruk menuju pintu rumah Ya’cub. Karena semua itu dialektika, hukuman pada akhirnya bisa bermakna bukan hukuman, sesudah ia melampaui relativitas waktu, serta sesudah pihak yang terhukum mengerti bagaimana bersikap dan menghikmahinya. Hukuman, apalagi dari Allah, justru bisa menjadi jalan menuju kemuliaan baru, sebagaimana Ya’cub. Apalagi kalau yang dihukum adalah kekasih-Nya.

Itulah memang “jenis adegan kehidupan” yang dikendaki oleh Allah. Bukannya suatu tema dan lakon kehidupan di mana Adam dan anak cucunya hidup tenteram namun monoton di surga sejak hari pertama hingga hari terakhir takdir kehidupan.

Dan akhirnya ingatlah, kalau Allah menghukum, Ia jua yang kemudian mengampuni dan mengasihi. Kalau Allah yang menghukum, Ia jugalah yang mengusap air mata penyesalanmu. Hukuman itu justru membuktikan kekekalan cinta-Nya. Bukankah tahap pertama hukuman terhadap Ya’cub justru berupa impian indah Yusuf terhadap rembulan, matahari, dan bintang-gemintang? Bukankah dengan demikian hukuman Allah bagi kekasih-Nya itu sesungguhnya sebuah kemesraan juga? []

Sumber: Emha Ainun Nadjib, Tuhan Pun “Berpuasa”, Penerbit Buku Kompas, 2014.
foto: caknun.com

* Muhammad (Emha) Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun, lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Seniman dan budayawan yang produktif dan rajin berdialog dengan masyarakat pelosok-pelosok desa tanah air, dengan kelompok Kiai Kanjengnya, terhitung dari tahun 1998 hingga 2006 telah mengunjungi lebih dari 22 provinsi, 376 kabupaten, 1430 kecamatan, dan 1850 desa di seluruh pelosok Nusantara. Belakangan, Cak Nun dan Kiai Kanjeng juga diundang ke berbagai belahan dunia, di antaranya Mesir, Malaysia, Brunei Darussalam, Inggris, Jerman, Skotlandia, Italia, dan Finlandia. Dalam hal menulis, Cak Nun berprinsip menulis bukanlah untuk menempuh karier sebagai penulis, melainkan keperluan-keperluan sosial. Dengan prinsip itu, ia justru telah menghasilkan sangat banyak tulisan, mulai dari puisi, esai, artikel naskah drama, cerpen, makalah hingga buku. Karya-karya dari murid Umbu Landu Paranggi dan alumnus International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1981) ini antara lain Sajak-sajak Sepanjang Jalan (1978); 99 Untuk Tuhanku (1980); Nyanyian Gelandangan (1982); Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (1983); Suluk Pesisiran (1988); Dari Pojok Sejarah Renungan Perjalanan; Sastra yang Membebaskan (1985); Cahaya Maha Cahaya (1991); Syair Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tahajud Cinta Seorang Hamba (1990); Slilit Sang Kiai (1991); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Tuhan pun “Berpuasa” (1997), Kafir Liberal (2005); Istriku Seribu: Polimonogami Monopoligami (2007); dan Orang Maiyah (2007).

Bersama istri (Novia Kolopaking) dan empat orang putranya (Sabrang, Hayya, Jembar, dan Rampak), Cak Nun bertempat tinggal di Yogyakarta, tepatnya di Jalan Barokah 287, Kadipiro, di sebuah rumah yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kesekretariatan Cak Nun dan Kiai Kanjeng. 

Friday, May 8, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 3 comments

Seni dan Cinta



Oleh HAMKA*

Seni tidak ada, kalau cinta tidak ada.

Apa sebabnya ada keindahan? Sebabnya ialah karena ada cinta. Dengan cinta alam diciptakan. Tiap awal surat Qur’an dimulai dengan “Bismillaahir rahmaanir rahiim”; di atas nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”. Itulah kunci rahasia cinta di alam ini. Timbulnya perasaan halus ialah karena cinta. Segala seni yang tinggi, syair, musik, lukisan adalah laksana rumus untuk membuktikan adanya Yang Rahman dan Yang Rahim.

Dalam kehidupan kita melalui suatu jalan yang bernama “Sirathal Mustaqim”; jalan yang lurus tetapi banyak keloknya, datar tetapi terlalu banyak pendakian dan penurunan. Alangkah ganjilnya. Kalau tidak ganjil tidaklah hidup namanya. Dalam perjalanan ini bertemu kesulitan, tapi kesulitan itulah setengah dari keindahan. Berbahagialah orang yang dapat menumpahkan perasaannya karena keindahan itu. Itulah ahli seni. Dan berbahagialah pula kita kalau kita kenal akan perasaan yang dinyatakannya itu. Dan lebih berbahagia lagi, kalau pikiran kita terus ingin mencari di mana rahasia keindahan itu; itulah bayangan filosof. Demi bila kita dapat meneruskan perjalanan ke sebalik pikiran itu, ke tempat yang lebih tinggi lagi, bertemulah kita ke dengan jalan tujuan hidup; itulah iman. Dari iman itulah kita mendapat ma’rifat. Ke sanalah tujuan seni pada keyakinan saya!

***
Tuan hendak menjadi pujangga?

Kalau dalam hati tuan belum tumbuh dengan suburnya rasa cinta, janganlah hendak mencoba menjadi pujangga. Belumlah ada artinya hidup, kalau tuan belum merasai lezat cinta. Dan tuan pun belumlah mengecap lezat cinta, sebelum tuan mengenal hidup.

Dengan menempuh berbagai macam jalan orang mencari Allah. Tetapi dengan cintalah jalan yang semudah-mudahnya. Bercintalah, sampai tuan menjadi satu dengan yang tuan cintai.

Yang mana yang akan tuan cintai? Dari mana tuan hendak masuk? Apakah dari keindahan alam? Atau dari kecantikan perempuan? Atau di tanah air tempat tuan dilahirkan? Itu semua belumlah cinta. Itu barulah jalan-jalan buat menuju pintu gerbang percintaan. Hakikat hidup adalah laksana pohon yang rindang dan subur. Maka janganlah dicukupkan sehingga hanya mencintai sekuntum bunganya, sehelai dari daunnya, serangkai dari buahnya. Kalau hanya bungannya yang dicintai, bagaimana dengan duri pemagar bunga? Bagaimana dengan ranting tempat bunga berjuntai? Bagaimana dengan cabang tempat ranting menumpang? Bagaimana dengan dahan tempat cabang melekatkan diri? Bagaimana dengan pohon tempat berkumpul segala dahan? Bagaimana dengan urat, yang mengisap bumi mengambil sari makanan untuk pohon, yang akan dibagikan sampai ke ujung pucuk? Bagaimana dengan bumi tempat dia ditumbuhkan? Bagaimana dengan sang surya yang memberinya cahaya?

Kalau sehelai daun di ujung dahan berhak beroleh rahmat cintamu, maka seluruh pohon itu pun, dan tempat dia tumbuh, dalam alam sekelilingmu pun, berhak beroleh cintamu. Cinta yang hanya mengenai sebagian kecil dari lapangan hidup yang luas, belumlah bertemu hakikat cinta.

Orang bertanya kepadaku; “Ada daun rontok dan ada ranting yang lapuk. Ada pula bunga yang telah busuk? Apakah ke sana aku mesti mencintai juga?”

Memang ada ranting lapuk, ada daun rontok, ada bunga yang busuk. Tetapi, lupakah tuan bahwasanya bagian yang sakit itu pun adalah bagian dari yang sehat? Dan yang sehat menjadi sehat, bukankah karena pengorbanan dari yang sakit? bukankah bagian yang sedianya akan dimakannya, yang diberikannya kepada yang sehat itu?

Tuan bertanya pula; “Di mana tempatnya dan di mana tumbuhnya syajaratul hayat, pohon kehidupan itu?” Aku jawab: “Pohon kehidupan itu tidaklah jauh. Dia adalah diri tuan sendiri. Maka diri tuan sendiri, tidaklah dapat dibagi-bagi. Satu pucuk tidak dapat diperlawankan dengan pucuk yang lain, buah dengan buah pun tidak, dahan dengan dahan pun tidak. Hanya SATU bumi tempatnya menyusun, hanya SATU rasa yang mengalir sejak dari urat, ke batang, ke dahan, ke ranting sampai ke ujung daun.

Tuanlah pohon kehidupan itu. Urat tuan menjalar ke tiap tempat dan ke tiap zaman. Ranting dan buah, ada di tiap tempat dan di tiap zaman. Jangan melemparkan kebencian kepada daun yang layu dan kembang yang rontok. Sebab dia adalah sebagian dari diri tuan. Kalau tuan ingin agar pohon kehidupan itu tetap subur, dan buahnya tetap lezat, bunganya tetap mekar dan harum, janganlah tuan abaikan menyiramnya dengan CINTA.

Cinta adalah air-tirta kehidupan. Benci adalah racun yang membawa maut. Jika kebencian masuk menyelinap ke dalam pohon kehidupan, tumbanglah pohon itu. Biarkanlah cinta itu mengalir dalam seluruh pohon, laksana mengalirnya darah dalam seluruh tubuh. Jika perjalanan darah tiada teratur, penyakitlah yang akan datang bertimpa. Tidak akan terdapat daun yang layu, dahan yang lapuk, selama urat masih sempurna menghisap SARI dari bumi tempatnya menyusu.

Janganlah cinta diletakkan kepada SIFAT, sebab sifat boleh berubah, karena perubahan tempat dan zaman. Langsungkanlah terus cinta itu kepada ZAT. Adapun Zat yang hakiki, zat yang mutlak ialah zat Allah. Itulah wujud yang sempurna, yang tiada terpecah lagi. Kalau diperdalam lagi, cinta yang sejati itu ialah Allah. Sebab Allah cinta akan dirinya.

Tuan belum bertemu dengan cinta, selama tuan masih jauh dari zat yang mutlak ini. Kunci emasnya belum terpegang di tangan tuan. Cinta yang sejati itu adalah nikmat. Meskipun tuan mengaku telah bercinta, padahal batin tuan masih merasa tersiksa, tandanya tuan belum mencintai zat yang mutlak. Tandanya cinta tuan masih singgah-singgah di tengah jalan, ke tempat yang lain, yang berubah-ubah dan perindah-pindah, sebab semuanya itu barulah bayangan.

Monday, May 4, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: , 4 comments

Kamu di Dalam Dirimu



apakah masih ada kamu di dalam dirimu?
di balik topeng kepura-puraan itu
tempat suara hati yang bungkam
jiwa yang penakut
dan bayangan yang tak pernah bisa jujur.

apakah masih ada kamu di dalam dirimu?
untuk sekadar menggunakan lidah itu
sisa waktu ini
untuk menjawab timbunan pertanyaan
yang tidak akan selesai hanya dengan sangkaan, dugaan,
bahkan perasaan.

apakah masih ada kamu di dalam dirimu?
agar aku bisa membungkus satu kotak waktu
dengan kertas kado usang itu
sebagai hadiah perpisahan
yang berisi penjelasan-penjelasan
agar hati kita tak lagi saling menawan.

via haekalism.tumblr

Monday, April 20, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Kamar



bersabarlah sejenak
aku hanya di kamar sebentar
aku tidak apa-apa

nanti kalau pikiran sudah tenang
aku akan keluar sendiri
janji

terima kasih sudah mengetuk pintu.
sampai jumpa lagi

Monday, March 23, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments

Tumblr


Beberapa bulan ini saya sedang menata pikiran. Saya banyak menghabiskan waktu di tumblr. Jika ingin berkunjung, sila klik link di bawah ini:

haekalism.tumblr.com

See you soon :)

Tuesday, March 10, 2015 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment