Archive for 2017

Binatang

Di Barat, sebuah negeri yang katanya tak ber-Tuhan, orang-orang begitu menghargai binatang. Burung-burung mereka biarkan terbang. Mereka menikmati kicau burung di alam. Tidak seperti sebagian orang di negaraku yang orang-orangnya mengaku ber-Tuhan, yang mesti repot-repot mencelakakan burung dengan senapan atau ketapel, mengobati lukanya, lalu mengurungnya di dalam sangkar. Burung itu memang berkicau. Namun bagiku, itu lebih terdengar seperti tangisan. Mengapa menikmati sesuatu harus dengan memilikinya dengan kejam?

Di Barat, sebuah negeri yang katanya orang hidup bebas tanpa agama, anjing pun mendapatkan posisi kehormatan. Banyak dari binatang tersebut yang dianggap teman, bagian dari keluarga. Beberapa orang bahkan lebih mempercayai anjing daripada manusia yang kadang-kadang berkhianat. Di negaraku, sebuah negeri yang katanya orang hidup dekat dengan agama, anjing dilempari batu. Tak jarang bukan dengan maksud mengusir semata, tapi melukai. Seakan-akan anjing bukanlah makhluk Tuhan yang patut disayangi, seolah-olah yang zikir kepada Tuhan hanya milik manusia semata--lalu kau pikir binatang tidak? Jika kau menganggap anjing najis, agama sudah memberikan cara untuk mensucikannya. Sama seperti manusia yang juga memproduksi kencing: najis, tapi apakah karena itu kau harus memotong kemaluanmu?

Ada sebuah titik, ketika aku merasa sebagian dari kita hidup dalam keadaan mabuk: berbuat tapi tak mengerti apa yang diperbuat; merasa beragama tapi jauh dari nilai-nilai agama; memproduksi rahmat tapi hanya untuk diri sendiri []

Sunday, July 16, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Politisi

Sejak dulu, politisi bisa menggunakan apa saja sebagai kenderaannya.

Di zaman Orde Baru, mereka karib dengan militer. Apapun bisa mudah jika bisa menjilat militer, berteman dengan militer, atau di tingkat yang paling licik, menyamar sebagai militer, pura-pura memakai baju loreng. Kini, militer masih menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan, memaksakan kebijakan. Maka tak heran, dari dulu militer sulit mewujudkan rasa aman di hati masyarakat. Apakah kau merasa tenang jika bertemu dengan oknum militer di tepi jalan? Bagaimana rasa kopimu jika tiba-tiba oknum militer masuk ke kedai?

Di zaman ini, politisi menggunakan jubah agama. Kopiah dipercaya bisa menambah jumlah suara. Ayat-ayat suci dipakai menjadi ayat-ayat politik. Para ulama, yang taat namun lugu dan menghindari berburuk sangka, dipengaruhi untuk diajak berkampanye, mengtepung-tawari calon-calon penguasa, menggerakkan jamaahnya ke bilik-bilik suara. Pemilu disamakan dengan perang suci. Para politisi calon penguasa dianggap nabi yang harus dibela dengan cara memenangkannya di pemilihan, bagaimanapun caranya. Di luar politik, tren memakai jubah agama juga bisa dilihat misalnya di pengadilan. Berapa banyak tersangka yang tiba-tiba memakai peci dan kerudung di depan hakim? Mereka berharap aksesoris tersebut bisa meluruhkan dosa pidana, mengurangi jumlah hukuman.

Politisi adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab menjadikan agama seakan-akan perkara simbol dan ritual semata, nirmakna dan nirlogika. Alhasil, sebagian orang menjadi religius namun lugu. Agama dijadikan alasan untuk tidak perlu banyak berpikir dan bertanya, padahal ilmu selalu bersanding dengan amal. Ketika saringan bernama otak itu tidak lagi dipakai, fakta dan fiksi bercampur tak menentu. Orang-orang menjadi mudah dipengaruhi dengan berita yang tak jelas pijakan jurnalistiknya. Informasi yang disukai diterima, yang masuk akal disebut konspirasi. Post-truth.

Di zaman ketika politik menjadi sesuatu yang menjijikkan, banyak orang menjadi apatis. Aku termasuk salah satunya. Namun suka atau tidak, politik dan politisi akan selalu menjadi aspek penting dari sebuah negara. Gie (1983) menyebut bahwa politik adalah kubang lumpur, dan ada satu masa ketika kita harus memasukinya []

Saturday, July 15, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Di Kereta

Di kereta semalam, kulihat wajah-wajah tanpa nama. Mereka pastilah seseorang bagi orang lain, namun tidak bagiku. Tidak pula aku bagi mereka. Kami adalah sekelompok individu-individu yang asing dalam keramaian. Memilih diam, acuh berpaling ke layar gawai, atau lembar-lembar buku.

Atau apakah sebenarnya setiap orang di kereta itu saling terpaut? Berhubungan dengan tak langsung. Seorang ibu mungkin adalah operator telekomunikasi yang setiap hari ikut andil menyambung koneksi anak muda di sebelahnya. Seorang lelaki barangkali adalah pembuat sushi di sebuah waralaba yang tadi sore kukunjungi. Seorang perempuan bisa jadi adalah seorang politisi yang baru tadi siang mengetuk regulasi yang berhubungan dengan nasib sekelompok orang di kereta ini.

Walau di kereta semalam tak ada yang saling bicara, namun kuyakin, pada akhirnya, setiap manusia saling berhubungan. Termasuk juga dengan tumbuhan, binatang, dan segala makhluk Tuhan. Kita hanya kurang bertegur-sapa, dan berterima kasih []

Friday, July 14, 2017 by Muhammad Haekal
1 comment

Alat

Beberapa hari lalu, aku tiba-tiba ingin membeli Macbook. Mungkin karena pengaruh laptopku yang sering lemot ketika kuperlukan, ditambah lagi Macbook bukan barang langka di kampus. Kebanyakan mahasiswa yang kutemui memakainya. Namun, apakah aku benar-benar memerlukannya?


Jika dua orang diberikan mesin tik yang sama, seorang bernama Haekal dan seorang lagi bernama Pram, tentu akan berbeda. Pram akan menulis novel. Sementara Haekal akan memfoto mesin tik itu dan memajangnya di instagram, tak lupa dengan tagar "#antique." Terpikir tentang hal itu, aku pun menunda rencana penuh nafsu itu.

Alat bisa menimbulkan imajinasi seakan-akan dengan memilikinya adalah cara instan menjiwai fungsi-fungsi, dan mendapatkan manfaat-manfaatnya. Padahal, alat hanyalah alat. Ia akan bermanfaat jika digunakan dengan tepat. Laptop baru tak menjamin seseorang akan menjadi penulis yang produktif. Hal yang sama berlaku bagi kamera, gitar, atau matras yoga. Semuanya tak serta-merta menjadikan seseorang fotografer, gitaris, dan yogi. Di sinilah banyak orang terjebak []

by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Aku dan Saya

"Saya" adalah "aku" dengan jarak yang jauh. "Saya" muncul dalam pembicaraan dengan orang asing. Bisa jadi kenal, namun tidak terlampau akrab. "Saya" adalah pagar yang membantasi antara kehidupan umum dan pribadi. "Saya" adalah sebuah topeng yang bisa dilihat siapa saja, namun cenderung tanpa tafsiran yang kaya makna.

"Aku" adalah sebuah jarak yang dekat. Pembicaraan yang kadang-kadang kurang ajar namun akrab. "Aku" adalah sebuah pintu untuk masuk dari ruang tamu, ke ruang keluarga, bahkan bisa ke kamar tidur. "Aku" dengan demikian, bukan milik siapa saja. Ia hanya ada, bagi mereka yang bisa dipercaya, bukan sekali-dua-kali.

Ada pula waktu ketika "aku" muncul dari bibir namun pada hakikatnya ia adalah "saya." Itulah "aku" yang pernah terluka. Yang suatu kali pernah membuka pintu untuk teman yang berubah jadi serigala. "Aku" yang dingin itu derajatnya di bawah "saya" yang resmi. Oleh karena "aku" adalah ruang-ruang di hati terdalam, ia memiliki kebiasaan baik yaitu mudah memaafkan, dan kebiasaan buruk yaitu sulit melupakan. "Aku" pada titik itu menjadi sulit bahkan mustahil untuk kembali menjadi "aku." Sayangnya, banyak orang-orang yang tidak mengerti []

by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Nyinyir #1

Ketika kau keluar dari rumah orang tua, barulah kau menyadari betapa mengupas bawang pun kau belum bisa. Bahkan untuk menggoreng telur mata sapi pun kau masih merasa perlu meminta saran dari orang lain. Umurmu yang menjelang kepala tiga, tak pelak lagi menimbulkan tanda tanya: apa yang kau lakukan selama ini? Apa makna dari belasan tahun pendidikanmu? Apakah hanya sebatas deretan angka-angka semu saja? Hanya sebatas membuatmu menjadi juara kelas, mahasiswa berprestasi, namun masih bingung cara mencuci kolor sendiri? Kau lemah. Tulang-tulangmu lunglai. Tapak kakimu tipis. Kau bisa jadi mati beku jika tinggal sendirian. Dan yang paling mengherankan dari semua itu, kau berani-beraninya mengatakan ingin berumah tangga?! Jangankan menanggung kehidupan orang lain, menjadi imam bagi dirimu saja kau belum becus []

Sunday, July 9, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: 2 comments

Harap

Ketika saya tiba, dia sedang duduk menatap layar gawai. Proyektor di depan masih menayangkan iklan. Pertandingan babak pertama derby London baru saja berakhir. Dari kegelapan langit malam, hujan masih merintik.

Di Sahabat Baru, kedai kopi tempat kami duduk, hanya beberapa orang yang menonton bola. Selain karena didirikan di jalan alternatif (Jalan Lamreung, salah satu cabang dari Simpang Tujuh Ulee Kareng), kedai ini tidak begitu menarik pandangan mata. Hal yang paling spesial dari kedai ini adalah nasi gorengnya. Racikan bumbu Acehnya sangat terasa dan ia dimasak dengan berapikan arang. Inilah yang membuat banyak orang singgah. Sekalipun mayoritas dari mereka lebih memilih menikmatinya di rumah.

Saya menepuk bahu teman saya dan duduk. Dari raut wajahnya, saya tahu jika tim kesayangannya sedang bermain buruk. Setelah mencaci-maki permainan timnya beberapa hembusan nafas, dia bertanya kabar saya. Kami berbasa-basi sejenak dan mulai serius menatap layar ketika peluit babak kedua ditiup.

Ini juga bukan tahun yang baik bagi teman saya itu. Ia gagal berkali-kali dalam seleksi beasiswa. Sementara hampir seluruh teman dekatnya akan segera berangkat kuliah. Kenyataannya ini membuatnya sering murung di meja kopi. Ia pun muak jika ada orang yang bertanya tentang rencananya di masa depan.

Kadang-kadang ia heran kenapa bagi sebagian orang hidup terkesan begitu mudah. Dan kenapa pula baginya semua terasa sebaliknya. Sialnya, hari-hari tak pernah berhenti berlari. Seperti semua orang di dunia, usianya terus bertambah. Kenyataan bahwa ia masih belum mampu beranjak dari rumah, makin membuatnya merasa tidak nyaman.

***

Pagi itu, di kedai kopi di tepi bantaran sungai, ia berkata pada saya ingin mencoba sekali lagi. Hanya sekali lagi. Tahun ini, ketika semua teman-teman pergi, ia pun merasa tidak bisa diam begitu saja. Iya yakin ada sesuatu yang tersedia untuknya di ujung usaha ini.

Saya teringat satu nasihat dari masa lalu: ketika tali kehidupan telah menarikmu begitu kencang, ketika rasanya kau tidak sanggup lagi menahannya, bertahanlah sebentar lagi. Tali itu akan putus. Kau hanya perlu bertahan sebentar lagi.

Dan kali ini, saya yakin sekali, tali kehidupan, yang selama ini melilit teman saya itu, akan segera putus. Insya Allah. Saya berharap besar sekali.

Tuesday, February 7, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Lupa

Sebagian orang tua lupa bahwa anak-anak mereka telah dewasa. Kenyataan bahwa buah hati mereka sekarang hampir mencapai kepala tiga, mampu mencari uang sendiri, dan mandiri hidup di kaki mereka sendiri, tak membuat para orang tua percaya jika sudah waktunya anak-anak itu mendapat kemerdekaan: sebuah kebebasan untuk membuat pilihan perkara kehidupan.

Belasan tahun pendidikan rasanya tak cukup untuk membuat orang tua percaya bahwa anak-anak mereka bisa hidup mandiri. Tanpa perlu terlalu didikte untuk menjalani kehidupan. Tanpa perlu dipilihkan pilihan karena mereka pun sebenarnya punya otak untuk mengambil keputusan. Tanpa perlu dikurung di rumah karena dunia luar bukan lagi hal yang asing. Buruknya, beberapa bahkan tak ambil pusing untuk mendengarkan suara anak mereka sendiri. Seakan-akan yang berbicara adalah balita yang bahkan belum masuk TK.

Sebagian orang tua lupa bahwa anak-anak mereka telah dewasa. Dan itu buruk sekali bagi semuanya.

Friday, February 3, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Kini

Teman-teman satu angkatan saya berumur 26-27 tahun. Sebagian sudah bekerja, menikah, dan punya anak. Ada pula yang sibuk sekali membangun karir, jalan-jalan, menikmati masa lajang. Tidak sedikit pula yang masih belum bisa lepas dari pelukan orang tua. Orang hidup di jalan yang ia pilih. Semua punya cerita dan alasan masing-masing.

Waktu tidak pernah menunggu. Hari berganti cepat. Segala hal berubah, sementara diri manusia bisa berkembang atau diam di tempat. Setiap pilihan di masa lalu bisa kita lihat hasilnya sekarang. Dan perolehan di masa depan erat kaitannya dengan apa yang kita lakukan saat ini.

Seorang bijak pernah berkata: jika tidak puas dengan apa yang telah kita capai, kita perlu melakukan sesuatu. Ketika kita masih mampu menghirup oksigen dan melepas karbondioksida, kita harus paham jika kesempatan masih terbuka. Jangan diam saja []

Wednesday, February 1, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: Leave a comment

Mendasar

Ketika seorang ibu menyerobot antrean saya di gerai Roti Boy bandara, saya tahu belum banyak yang berubah di kampung. Hati saya semakin kesal melihat sampah bertumpuk di selokan. Di jalanan, orang-orang masih menerobos lampu merah. Di kampus, toilet dipenuhi kerak kotoran. Di beberapa persimpangan, spanduk-spanduk Pilkada bertebaran dengan janji basi dan murahan. Sementara di masjid, sebuah tempat yang saya harapkan memberi kedamaian, salat Jumat pertama saya dipenuhi khutbah penuh kebencian.
 
Di meja kopi, pernikahan masih dibicarakan dengan intensitas terlampau tinggi seakan-akan ia adalah satu-satunya tujuan penciptaan manusia. Beberapa teman sibuk bertanya, mengatur, dan mencandai kehidupan orang lain seolah-olah mereka adalah boneka yang tak memiliki pikiran dan perasaan. Masih banyak hal-hal mendasar yang belum selesai dan sebagian anak muda justru memilih bergosip (dan bermimpi menyelesaikan masalah umat manusia?).

Minggu pertama saya di kampung adalah sakit kepala. Terlalu banyak masalah dan saya merasa begitu kecil dan tak berdaya []

Monday, January 30, 2017 by Muhammad Haekal
Categories: 3 comments