1 Litre of Tears |
Saya memiliki teman yang lumayan sering saya kunjungi. Namanya Robi. Ia pertama saya kenal saat saya berkuliah di Fakultas Ekonomi. Setelah saya di-drop out, kami masih sering bertemu. Nah, tanpa saya sangka, si Robi yang penampilannya ‘sangat cowok’ ini ternyata suka film-film lintas timur (Jepang-Korea-Cina). Ia rela mendownload film hingga berjam-jam, bahkan berhari-hari.
Suatu hari ia menawarkan saya sebuah film serial Jepang, judulnya 1 Litre of Tears, film yang terdiri atas sebelas episode ini diproduksi tahun 2005 dan diadaptasikan dari kisah nyata. Film ini bercerita tentang seorang perempuan yang didiagnosis menderita semacam penyusutan suatu bagian otak yang membuat kordinasi antara otot-otot secara berangsur-angsur menurun hingga tahap kelumpuhan permanen. Sesuai dengan judulnya, film ini memang membuat penonton dengan rela mengeluarkan air mata. Selain karena memang diangkat dari kisah nyata, film ini dipandang menarik karena alur cerita cenderung berjalan sempurna. Gambaran cinta dan air mata tidak seperti direka-reka. Semua berjalan begitu manusiawi dan jauh dari citra lebay. Erika Sawajiri dan Ryo Nishikido pun terasa pas memerankan karakter utama dan memiliki chemistry unik, selain juga aktris dan aktor lain yang bermain cukup padu. Selesai menonton serial ini, saya cukup puas. Banyak pelajaran yang dapat saya petik.
My Sassy Girl |
Jujur saya iri melihat film-film tersebut. Film garapan saudara sebenua kita ini cukup berkualitas. Ceritanya sungguh kaya akan nilai-nilai. Miris melihat negara kita yang mayoritas fimnya hanya menyinggung bagian ‘paha dan dada’. Dan akhirnya, saya terpaksa mengaku ketularan virus film Korea dan Jepang, dan itu gara-gara Robi.