Saya sedang berada di halaman saat itu, memetik biji-biji euphorbia yang memang sedang nge-tren. Pot-pot bunga itu terletak di rangkaian besi yang dilas bertingkat. Sebuah pot jatuh saat saya sedang asyik memetik. Saya letakkan pot itu kembali ke tempat semula. Pot itu kembali jatuh, dan tidak hanya satu, tapi semua pot berceceran ke tanah. Pijakan saya goyah. Tanah bergoyang. Gempa.
Seumur-umur saya tidak pernah merasakan gempa sekuat ini. Bumi bergoyang seperti ayunan yang didorong kemudian ditahan. Begitu seterusnya. Saya tidak mengingat berapa lama gempa terjadi.
Suara tasbih menggema dari rumah saya dan tetangga sekitar. Dentingan piring-piring pecah bercampur dengan rintihan ampun manusia kepada Tuhan-nya. Sementara itu, jalan aspal di depan rumah saya sepi. Beberapa orang yang tidak mengetahui gempa terjadi masih berada di atas kenderaan. Sementara kami yang menempelkan diri di tembok, mendekap batang kelapa, dan duduk di atas rumput, menjerit-jerit memberi tahu mereka tentang apa yang sedang terjadi. Keadaan begitu panik. Kami bahkan tak sadar saat gempa telah berhenti.
Saya sedang berada di rumah dengan seorang sepupu dan mak cik. Piring-piring berjatuhan di lantai. Cangkir-cangkir keramik yang biasa hanya keluar saat hari raya, pagi itu berhamburan pecah. Retakan terlihat di dinding rumah. Saya tidak ingat apakah saat itu akses telekomunikasi masih berfungsi, yang jelas ayah, mamak, dan adik saya sedang pergi berbelanja.
Belum reda kepanikan, seorang teman saya berlari sambil berteriak, air naik katanya. Air apa, pikir saya. Saya tidak mengerti. Rumah saya berada tepat di depan aliran sungai Lamnyong, sekitar 300 meter jaraknya.
Di tengah pikiran yang bermacam-macam, antara panik dan bingung, aliran deras dan besar menyapu sungai. Seperti ombak yang menyapu daratan tapi tidak kembali ke lautan. Air itu membawa puing-puing rumah: seng, atap, kayu, dan yang lebih mengejutkan lagi, manusia-manusia. Beberapa orang yang terbawa aliran berusaha bertahan di atas puing-puing, berjalan pelan dengan baju yang telah koyak sana-sini. Mereka mencari sela kosong di arus sungai, yang bebas dari puing, sehingga mereka bisa berenang ke tepi. Saya dan beberapa tetangga berdiri di tanggul dengan mulut menganga. Beberapa berteriak, “Awas! Ada kabel rakit di depan!” memang ada kabel besi di sungai yang jika terkena bisa membuat cedera, sementara yang lain diam tak tahu berbuat apa. Air di sungai semakin banyak dan deras hingga memenuhi ladang rumput yang di dalamnya berada banyak kandang sapi masyarakat. Para peternak sapi mulai turun ke bantaran sungai, menyelamatkan ternak-ternak mereka. Air makin meninggi. Beberapa sapi dari kampung sebelah, Limpok, terseret arus, sementara pemiliknya menceburkan diri ke air. Saya masih tidak tahu apa yang terjadi. Saya yang saat itu masih SMP bilang, “Banjirnya besar kali tahun ini.” Tapi tetangga saya yang sudah kuliah bilang, “Ini bukan banjir, Kal. Ini tsunami.”
Orang-orang mulai sadar akan keselamatannya saat air terlihat seperti akan melewati tanggul. Kami mulai lari ke rumah masing-masing. Makcik dan sepupu saya mulai mengepak barang di dalam koper. Entah apa yang mereka masukkan. Keadaan berlangsung dalam tempo cepat. Saya menuju kamar, menutup jendela, dan gordyn. Sungguh saat itu saya berpikir, mungkin saat ini terakhir saya melihat kamar, tempat saya melakukan hampir keseluruhan aktifitas. Saya mengambil kunci motor, saat itu saya baru bisa bawa motor. Saya dan sepupu berboncengan berdua, ada seorang anak yang ikut naik, anak rekan mamak saya yang sebenarnya tinggal jauh dari rumah saya, di Perumnas. Tapi karena kebetulan lewat dan kondisi begitu horror, ibunya menitipkan anak itu kepada kami. Kami pun bergerak ke meunasah yang terletak sekira 500 meter di belakang rumah. Makcik saya, entah dengan siapa dia pergi ke meunasah, yang jelas tiba-tiba dia sudah di sana (sebuah kondisi yang jika dikenang sekarang, lucu juga). Meunasah dipenuhi orang, semuanya berwajah bingung. Air mata menetes dari wajah mereka.
Orang tua dan adik saya belum pulang. Saya dan Apa Cut mencari mereka ke Darussalam. Entah kenapa kami ke sana, mungkin karena daerah itu yang paling dekat dalam pikiran saja. Sepanjang jalan menuju Darussalam, saya terkejut melihat begitu banyak mayat bergelimpangan. Tubuh mereka berbalut lumpur. Seorang kakek pemelihara lembu di kampung saya terlihat memandikan jenazah seorang anak perempuan di dalam kubangan kerbau yang airnya telah berganti menjadi air sungai. Saya berharap ini semua film.
Di mesjid Kopelma, masyarakat penuh. Sementara di dekat tower air yang di bawahnya berada pos Brimob, mayat-mayat begitu banyak. Di samping mayat, menggeletak beberapa manusia yang masih hidup berselemak lumpur. Kami sempat singgah di rumah rekan ayah saya. Di sana terduduk seorang anggota Airud dengan badan penuh luka. Katanya mereka sedang latihan pagi saat tsunami menerjang. Jarak antara tempatnya latihan dan Darussalam mungkin sekitar 10 kilometer. Gelombang membawanya begitu jauh.
Kami kembali ke rumah. Sepanjang jalan pulang, saya berusaha berpikir di mana mereka. Jika hari Minggu, biasa mereka belanja ke Peunayong, sebuah kawasan yang begitu dekat dengan laut. Dari Darussalam ke Lamreung, jalanan terlihat begitu berbeda. Sebagian jalan aspal yang dekat dengan sungai telah dilapisi lumpur hitam. Air juga masih menggenang di beberapa sudut jalan. Mayat-mayat yang baru ditemukan dijajarkan di pinggiran aspal. Bau laut dan lumpur memenuhi udara.
Saya tiba di rumah. Mobil orang tua saya terparkir di halaman. Alhamdulillah tidak ada yang kurang dari keluarga kami.
**
Tsunami mengubah banyak hal. Tsunami dalam hal ini menghancurkan, membangun, mengingatkan, mendekatkan, dan menjauhkan.
Tsunami membuat saya menyesal bolos les. Saya memiliki teman dekat di les bernama Zaira. Hanya gara-gara baru pangkas rambut, jadi cepak, saya malu pergi les, sebulan saya bolos, bodoh. Entah hari Jumat atau Sabtu, saya bertemu dengan dia di jalan pergi sekolah. Dia sedang mengantar adiknya yang sekolah di SMP 8, adik letting saya, sementara dia bersekolah di SMP 2. Dia tersenyum kepada saya saat itu. Senyum terakhir yang saya lihat darinya.
Sebelum tsunami, saya bertengkar dengan Erna Safitri, teman baik saya di SMP. Saat jam pulang sekolah, saya yang biasa ke kelasnya terlebih dahulu, memilih lari pulang, dan menghilang. Jam istirahat yang sering ramai-ramai kami habiskan dengan teman-teman lain, saya habiskan di dalam kelas atau di manapun yang tidak ada dia, saya menghindar. Beberapa minggu setelah sekolah dimulai pasca tsunami. Makcik Erna datang ke sekolah menjumpai saya. Dia bertanya apakah saya ada bermimpi sesuatu tentang dia. Saya menggeleng. Makciknya menangis, dia bilang, jenazah Erna belum ditemukan. Tsunami membuat saya menyesal menunda-nunda meminta maaf.
Tsunami memisahkan saya sementara dari kawan-kawan tercinta. Semisal Keni yang mengungsi ke Medan, dan baru pulang dengan gaya rambut yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: cepak. Saat dia tiba di Banda Aceh, kami biasa menghabiskan waktu sore dalam perjalanan santai ke arah Blang Bintang. Melihat deretan pesawat di bandara, hijaunya sawah, dan muda-mudi yang baru siap mandi sore. “Mencuci mata,” begitu kata kami.
**
Tsunami dalam beberapa hal membuat benci, membuka mata bahwa manusia adalah makhluk tak tahu diri dan serakah. Entah putus asa atau memang mencari celah semata, beberapa orang dengan kejam memotong jari jenazah tsunami hanya untuk mengambil cincin emas. Beberapa lain, (maaf) tega melecehkan perempuan korban tsunami yang masih hidup. Menyalurkan nafsu di tengah kepanikan, ketidakberdayaan orang lain. Memang sesaat setelah kejadian, korban-korban yang bernyawa maupun tidak, telah tidak lengkap lagi busananya.
Tsunami membuat kita merasakan bahwa ternyata manusia adalah mahkluk yang lemah. Butuh bantuan orang lain, dan dia atas segala-galanya, butuh belas kasih dari Allah SWT. Di sisi lain, kita juga patut bersyukur dan kagum atas bala bantuan yang diberikan oleh saudara-saudara kita dari luar pulau bahkan luar negeri - tanpa memandang suku, ras, dan agama. Salut!
Tsunami dalam banyak hal mengajarkan bahwa setiap pertemuan harus disyukuri secara maksimal. Kita tidak tahu kapan berpisah dengan rekan, saudara, ayah, ibu, adik, kakak, istri, suami, dan dunia. Tsunami juga mengajarkan bahwa hidup terlalu indah untuk disia-siakan. Mengutip status teman saya di FB, “hidup terlalu indah untuk digalaukan.”
Semoga kita semua belajar dari tsunami, baik secara moral maupun teknis antisipasi bencana. Khusus bagi pemerintah, jangan lupa bahwa saat ini masih banyak korban tsunami yang tinggal dalam barak, padahal tsunami sudah berlalu delapan tahun.
“Ya Allah, hapuskan dosa saudara-saudara kami yang Engkau ambil nyawanya saat tsunami. Tempatkanlah mereka dalam surga-Mu.”
sumber gambar:doitsoteam.blogspot.com