“Aku belum tahu aku bisanya apa.”
Kalimat itu keluar dari mulut teman saya, seorang mahasiswa. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa dia tidak benar-benar tahu mengapa dia sekarang kuliah di Fakultas Ekonomi. Dia tidak begitu menggemari bisnis. Dia juga mengaku lemah dalam berhitung.
Alhasil, sekarang dia masih pusing tentang apa yang harus dilakukan selepas kuliah nanti. Dia tidak tahu harus mengambil pekerjaan di bidang apa. Dia pusing memikirkan apa kemampuan dia yang sebenarnya.
Bingung
Saat SD, mungkin kita masih ingat tentang pertanyaan mengenai cita-cita. Ada yang menulis dokter, polisi, pilot, astronot, bahkan presiden. Kita tidak pernah takut untuk mengatakan itu. Sebagai anak-anak, kita memang dianugerahi keberanian untuk bermimpi.
Ketika SMA, jawaban tentang cita-cita mulai berubah. Kita mulai mencoba realistis dan di sisi lain sudah mulai memandang dunia dengan cara berbeda. Hal-hal yang dulunya kecil, kini menjadi sesuatu yang keren. Profesi populer seperti penyiar radio, pemain musik, atau model, mulai terngiang-ngiang di dalam kepala. Jika dulu hanya ingin jadi dokter, sekarang sudah lebih khusus lagi: dokter spesialis kandungan.
Menjelang masuk kuliah, kita kembali disuguhkan dengan pertanyaan terkait cita-cita. Bedanya, kali ini kita tidak hanya sendiri. Ada orang tua, saudara, teman-teman, yang ikut memberikan ide bahkan tekanan terhadap pilihan kita nanti. Tak jarang, sebagian dari kita harus mengikuti pilihan orang lain untuk hidup kita sendiri. Sebuah pilihan yang belum tentu kita sukai dan merepresentasikan bakat kita.
Maka tak heran, sebagian dari kita, bahkan hingga umur 20-an tahun masih bingung dengan pertanyaan siapa saya? Masih belum memiliki rencana masa depan. Dan gawatnya lagi, masih belum tahu sebenarnya saya punya kemampuan apa.
Belum Sadar
Sejak usia delapan tahun, Lionel Messi sudah mulai masuk dalam lingkaran sepakbola. Dengan dukungan keluarganya, dia terus fokus untuk mengejar karir sebagai pengolah si kulit bundar. Jorge dan Celia (orang tua Messi), tahu benar, bahwa bakat dan ketertarikan anak mereka ada di sepakbola.
Dulu, kisah di atas jarang terjadi di negara kita. Entah karena orang Indonesia terlalu menggemari pekerjaan serius, seperti PNS, kontraktor, dokter, dan lain sebagainya, kita jadi melupakan bakat spesial yang dimiliki anak-anak. Kemampuan bermain bola, menggambar, menyanyi, acting, hanya dianggap main-main. Oleh sebab itu, banyak talenta-talenta yang hilang bahkan sebelum mereka sempat berkembang. Syukurlah orang tua sekarang perlahan mulai sadar dan memperhatikan potensi anak.
Dan sekarang bagaimana dengan kita? Orang-orang yang belum sadar dengan kemampuannya sendiri. Yang belum tahu nanti mau kemana dan melakukan apa.
Introspeksi
Tidak sulit. Kita hanya perlu melakukan introspeksi. Tanya diri sendiri tentang apa yang membuat kita tertarik. Hal apa yang bersedia kita lakukan bahkan jika tidak dibayar. Kegiatan apa yang menjadikan mata kita terus terbuka padahal sudah jamnya tidur. Pekerjaan apa yang sepertinya sangat enteng dan menyenangkan saat kita kerjakan. Jika sudah menemukannya, selanjutnya akan mudah.
Ambillah contoh kita ternyata menggemari fotografi. Maka bergabunglah dengan komunitas-komunitas fotografi. Perkaya wawasan dalam memotret. Terus tambah relasi. Ikuti segala macam kegiatan, apakah itu lomba atau pameran. Bukalah diri untuk menerima segala macam tawaran pekerjaan yang berhubungan dengan fotografi.
Semakin hari tanpa terasa kita menjadi semakin tua. Tanggung jawab pun semakin membesar. Suatu hari nanti, kita tidak hanya menghidupi diri sendiri. Ada keluarga, anak-istri, orang tua, sanak saudara, yang harus diperhatikan. Menemukan siapa saya dari sekarang akan membuat kita lebih bijak dalam menentukan titik fokus: apa yang harus diprioritaskan, skill apa yang harus ditingkatkan, relasi bidang apa yang sebaiknya ditambah.
Akhirnya, semoga tulisan kali ini bermanfaat. Insya Allah. Sampai jumpa di postingan berikutnya. Salam.