Tahun 1998. Saya masih kelas II SD. Saya ingat betul dengan bedak Krisna. Bedak itu ditaruh di ketiak. Om dan bibi saya sering membelinya. Bedak yang dikemas dalam sanchet ini bermanfaat agar ketiak tidak bau.
Tahun 2000-an, saya lupa kapan persisnya, muncul iklan di televisi yang juga berhubungan dengan ketiak. Bedanya, kali ini produk tersebut tidak berwujud bedak. Tapi semacam bulatan basah (berbentuk bola) yang memiliki pegangan ukuran tangan. Sekarang kita mengenalnya dengan roll on (atau deodorant). Selain membuat ketiak tidak berbau, roll on juga dapat mengurangi bahkan menghentikan keringat di ketiak. Uniknya, selain muncul dengan kelebihan tersebut, ia juga hadir dengan suntikan pola pikir baru: keringat di ketiak itu tidak normal, jelek, tidak elok dipandang. Maka selanjutnya muncul istilah basket (basah ketek) dan burket (bubur ketek). Bila ketiak kita basah, maka ramai-ramai akan diteriaki basket. Sementara burket menyinggung para pemakai bedak yang memang jika bercampur dengat keringat di ketiak, akan membentuk mirip bubur (saya rasa sebutan ini terlalu berlebihan).
Sejak kemunculan roll on, pemakai bedak di ketiak menurun. Orang-orang mulai malu mengangkat lengan jika merasa ketiaknya basah. Pola pikir masyarakat pelan-pelan menganggap ketiak basah itu jelek dan memakai bedak di ketiak itu haram.
Menetapkan Definisi
Sadar atau tidak, iklan selama ini telah menetapkan definisi tentang suatu hal. Contoh lain yang paling dekat adalah masalah kecantikan. Beberapa produk kecantikan mendefinisikan cantik sebagai putih. Maka dalam sekejab bermunculan produk kosmetik, mulai yang datang dari Cina hingga racikan dokter. Para perempuan yang merasa tidak putih berbondong-bondong membeli krim pemutih. Maka semua perempuan pun mendadak menjadi ‘putih’. Cocok atau tidak, sesuai atau tidak, cantik itu harus putih! Sampingkan soal harga dan risiko kesehatan!
Gawatnya, di tahun 2011, tren putih itu mulai bergeser. Cantik itu sawo matang. Bahasa Inggrisnya tan. Kulit sawo matang, seperti baru dijemur matahari, dianggap seksi dan eksotis. Maka seperti yang bisa ditebak, di kota besar seperti Jakarta, mulai muncul jasa tanning (menjadikan kulit sawo matang). Wujudnya beragam, mulai dari konsultasi perawatan yang bersifat alamiah, hingga yang praktiknya instan (seperti memasukkan pasien ke dalam tabung panas atau tanning bed). Luar biasa.
|
tanning bed |
Korban Iklan?
Apakah kita menjadi korban iklan? Bisa jadi. Segala macam hal yang ditampilkan iklan sepertinya begitu mudah mengubah gaya pandang kita.
Memang tidak semua yang diiklankan itu salah. Yang aneh adalah ketika prinsip baru yang muncul. Sebuah ketetapan yang berada di luar kewajaran. Sebuah rumusan yang membuat kita mengubah apa yang sebelumnya kita anggap baik-baik saja.
Kini ada baiknya kita menjadi bijak. Tidak menelan mentah-mentah apa yang disugestikan oleh iklan. Bertanya terlebih dahulu kepada diri sendiri mengapa saya perlu melakukannya? Ketiak berkeringat itu normal. Putih tidak selamanya cantik. Mengendarai motor bebek, tidak serta-merta membuat laki-laki berubah wujud menjadi perempuan.
Akhirnya, iklan terus berubah seiring dengan tren dan kepentingan. Mengikutinya tanpa pikir panjang dapat merugikan diri sendiri. Coba bayangkan jika hari ini cantik itu putih. Bulan depan berubah menjadi sawo matang. Bulan berikutnya cantik adalah belang. Apa jadinya kita?
Semoga bermanfaat. Insya Allah. Terima kasih atas kunjungannya. Silahkan share jika suka :)